16 August 2010
Dr. J.R. Saragih Garingging, SH, MM : “Ingin Membangun
Simalungun”
Jangan langsung main vonis, dengan mengandalkan kekuasaan. Ketika jadi
pemimpin, itu yang saya lakukan.
Perjalanan
hidup Dr. J.R. Saragih Garingging, SH, MM, memang berliku. Calon Bupati
Simalungun periode 2010–2015 ini, lahir di Simalungun, 10 November 1968. Baru
berusia setahun, ayahnya, Rasen Saragih, berpulang. Lantas, sepupu Prof. Dr.
Bungaran Saragih, M.Ec. ini ikut neneknya (ibunda Rasen Saragih), E. Br. Purba,
di Kecamatan Raya, Simalungun. Di sini, ia sempat bersekolah sampai kelas 4 SD.
Lalu, neneknya juga wafat.
Saragih muda
lalu hidup bersama nenek (orang tua ibunya) di Tanah Karo. Sementara ibunya
menikah lagi dan dikaruniai anak, Hj. Karyawati Ginting, Margono Ginting, SE,
dan Bela Raja Ginting Esko. Sedangkan saudara kandung J.R. Saragih adalah Tini
Saragih, Haji Dr. Anton Saragih, SE, MM, Riston Saragih, Drs. Agus Saragih, dan
Drs. Heri Saragih. Jadi J.R. Saragih adalah putra keenam dari pasangan Rasen
Saragih dengan Netty Br. Sembiring.
Penuh Perjuangan
Di Kecamatan
Munthe, Tanah Karo, J.R (Jopinus Ramli) Saragih, hanya bersekolah sampai kelas
6 SD. Kemudian ia pergi ke Pematang Siantar. J.R kecil sempat menjadi tukang
semir sepatu. Lalu, selama tiga tahun menjadi kenek bus. Terakhir bus Makmur
jurusan Medan-Jambi. Kadang-kadang ia bisa makan satu hari sekali dan kadang
tidak.
Suatu hari, ia
bertemu dengan seseorang yang menyuruhnya sekolah agar kelak ia bisa menjadi
orang yang berguna. “Saya lupa siapa orangnya. Tapi dia supir,” kenang ayah
satu putri ini. Kembalilah ia ke Kecamatan Munthe, Tanah Karo, dan sekolah di
SMP. “Di SMP saya beternak ayam, ikan, dan kuda,” cerita J.R. Saragih, saat ditemui
di Pematang Raya, Kecamatan Raya, Kab. Simalungun, kepada AGRINA, Senin (9/8).
Setamat SMP ia
sempat menarik becak barang di Brastagi, Sumatera Utara. Dengan menggadaikan
kopi orang tuanya di Kecamatan Raya, lalu ia nekat berangkat ke Jakarta.
Bekerja di galian pasir Puskopad di Curug, Tangerang, ia sekolah di SMA. “Dari
situ saya coba masuk tes Akademi Militer. Lulus, saya menjadi TNI beasiswa.
Tamat, saya menjadi Letnan Dua,” lanjut suami dr. Ernita Angraini br. Tarigan
Girsang, Sp.KK ini.
Ayah dari Efarina
Margaretha Saragih ini sempat menjadi Komandan Polisi Militer di Purwakarta,
Jawa Barat. Di kota ini ia mendirikan klinik berbasis spesialis. Semula ia
tidak mencari keuntungan dari klinik ini. “Saya ingin melayani masyarakat aja,”
dalih pensiunan Polisi Militer, yang pangkat terakhirnya adalah Letnan Kolonel
ini.
Karena tuntutan
perekonomian, pemerintah mewajibkan membayar pajak, dan karyawan harus
mengikuti UMR dan sebagainya, akhirnya dibuatlah tarif tetap. Kemudian klinik
ini menjelma menjadi Rumah Sakit Efarina Etaham. Efarina nama anaknya, dan
Etaham artinya ayo maju. Selain di Purwakarta, rumah sakit ini juga berdiri di
Brastagi dan Pangkalan Kerinci (Kabupaten Pelalawan, Riau). Ia mempunyai
Helikopter Bolcow 105.
Sayang Keluarga
Pertemuan J.R.
Saragih dengan dr. Ernita Angarini br. Tarigan Girsang (putri dari pasangan
Prof. dr. Pangarapan Tarigan, Sp.PD dan Rehna Ginting) ini
termasuk singkat. Mereka berkenalan Desember 2001 melalui saudaranya. Setelah
dua kali pertemuan, Juni 2002 mereka menikah. Lantas 16 Juli 2003, mereka
dikaruniai seorang putri yang diberi nama Efarina Margaretha Saragih. Nama
rumah sakit diambil dari nama anak mereka.
“Saya mendukung
penuh Bapak menjadi Bupati demi kemajuan rakyat Simalungun. Dia bahagia,
maka orang lain harus bahagia. Dia suka kepada orang yang kerja keras. Dia mau
membantu orang kerja keras dan berhasil,” tutur dr. Ernita Angraini br Tarigan
Girsang, SpKK, kelahiran Medan, 19 Juni 1973, ini kepada AGRINA, Kamis (12/8).
J.R. Saragih
tergolong orang yang sayang keluarga. Simbol-simbol itu terlihat di nomor
polisi mobilnya. Di Jakarta, mereka memiliki mobil Mercy dengan nomor polisi B
73 JR. (73 adalah tahun kelahiran istrinya, sedangkan JR singkatan dari Jopinus
Ramli). Sementara di Simalungun, mobilnya bernomor polisi BK 167 JR, BK 167 DS,
dan BK 167 SF. Angka 167 diambil dari tanggal kelahiran putrinya, Efarina,
yaitu 16 Juli.
Tak Main Vonis
Keberhasilannya
ini, menurut J.R. Saragih, diraih dengan kerja keras. Ia sempat berjualbeli
tanah. Ketika berdinas di Purwakarta, ia juga pernah memiliki 600 keramba ikan
di Bendungan Jatiluhur. “Saya punya rencana, wisata di Parapat (Danau Toba) itu
akan dihidupkan dengan ikan, supaya orang berwisata ke situ sambil makan ikan,”
harap Doktor Manajemen Ilmu Pemerintahan (lulus 2008) dari Universitas
Satyagama, Jakarta, ini.
Dalam memimpin,
lulusan Magister Manajemen dari Universitas Satyagama, Jakarta, ini selalu
dekat dengan anak buahnya. “Bukan mengandalkan kekuasaan,” katanya. Misalnya,
mungkin ada orang bandel atau malas karena terpaksa. “Mungkin dia punya problem
di rumah. Ini harus kita tahu. Kalau dia punya problem di rumah, perbaiki dulu.
Jangan langsung main vonis. Ketika jadi pemimpin, itu yang saya lakukan,”
jelasnya.
Berkat
keberhasilannya di luar kampung halamannya, ia kembali untuk membahagiakan
masyarakat Simalungun dengan mencalonkan diri sebagai Bupati. “Saya datang ke
Simalungun ini, ingin membangun Kabupaten Simalungun ini bersama-sama
masyarakat. Tidak memilih suku, tidak memilih agama. Saya ingin memberikan ilmu
yang saya terima dari luar, sehingga anak-anak kita mempunyai suatu
kebanggaan,” Saragih mengakhiri perbincangan.
Syatrya Utama,
Inga Clarissa Wisnu Amanda, dan A. Hamid Lubis